PASAL 28


PASAL 28 B AYAT 1

Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Nikah menurut bahasa berarti menghimpun, sedangkan menurut terminologis adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki da perempuan yang bukan muhrim sehingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.

Pernikahan dalam arti luas adalah suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga. Pernikahan dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang dilangsungkan menurut keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat agama.


Pernikahan bertujuan untuk menciptakan keluarga yang sakinah, yaitu keluarga yang tenang, tenteram, damai dan sejahtera lahir batin. Dalam keluarga yang demikian itu terdapat kasih sayang (mawadah warahmah) yang terjalin di antara anggota keluarga, yaitu suami, istri dan anak-anak.


Pernikahan harus dipersiapkan secara matang, sebab pernikahan bukan sekedar mengesahkan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan, atau memuaskan kebutuhan seksual semata-mata. Pernikahan memiliki arti yang luas, tinggi dan mulia. Dari pernikahan akan lahir generasi penerus, baik atau buruknya perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh peristiwa yang dimulai dalam pernikahan.
Tapi masih ada orang yang melakukan pernikahan sirih atau yang sering di sebut pernikahan di bawah tangan.


Pernahkah Anda mendengar istilah nikah siri?


Jujur, saya pribadi belum pernah mempelajarinya secara formal melalui instansi pendidikan. Saya mendengar dan memahami makna istilah tersebut dari tayangan-tayangan infotainment di televisi serta bacaan umum lainnya.
Pengertian nikah siri secara garis besar adalah proses pernikahan yang sah menurut agama, tapi tidak terdaftar di catatan KUA. Masyarakat umum sering menjulukinya “nikah di bawah tangan”. Banyak sekali faktor yang menyebabkan seseorang melakukan nikah siri. Diantaranya adalah ketidakadaannya biaya untuk melangsungkan pernikahan secara legal dimata negara dan hukum, serta sifat tradisional yang masih melekat.


Pemerintah mulai menekan fenomena nikah siri dengan beberapa kali mengadakan acara nikah masal secara gratis di pelosok-pelosok daerah. Tujuannya jelas, yaitu mewujudkan sebuah pernikahan yang sah di mata agama dan di mata hukum dan menghindari permasalahan-permasalah yang berkaitan dengan administrasi dan kependudukan.

Baru-baru ini, saya membaca sebuah artikel di sebuah situs internet, bahwa MUI akan memberikan fatwa haram terhadap nikah siri serta mendukung hukuman pidana yang diusulkan Kementrian Agama. Hal ini disebabkan karena nikah siri semakin memudarkan nilai kesucian hubungan suami-istri, dimana seharusnya pernikahan adalah sebuah proses sakral dalam kehidupan yang harus memberikan kenyamanan dan tidak merugikan. Ada dua pihak yang dirugikan disini : wanita dan anak-anak.


Mengapa?


Nikah siri dinilai merugikan kaum istri karena mereka dinikahi tanpa adanya surat-surat resmi seperti layaknya pernikahan normal. Hal inilah yang dikhawatirkan berbagai pihak karena semakin memperluas potensi zina. Banyak pasangan yang menikah tanpa bukti tertulis akan menimbulkan banyak masalah di kemudian hari. Anak-anak yang lahir dari pernikahan siri juga tidak mendapat fasilitas akte kelahiran karena kedua orangtuamereka tidak terdaftar dalam catatan KUA, serta masih banyak kerugian-kerugian lainnya.
Alasan-alasan diatas rasanya sudah cukup menjadi landasan hukuman pidana bagi pelaku nikah siri.

 Dalam agama islam sendiri, sebuah pernikahan itu sah apabila syarat-syaratnya mencukupi. Tapi akan menjadi haram apabila timbul pihak-pihak yang dirugikan.
Sebelumnya Kementerian Agama sudah menyerahkan RUU Peradilan Agama Tentang Perkawinan yang membahas nikah siri, poligami dan kawin kontrak kepada Presiden SBY.

Dalam RUU tersebut jika melakukan nikah siri akan dipidanakan dan akan ada hukuman kurungan maksimal 3 bulan serta denda maksimal 5 juta.
Hmm, setelah ini kira-kira masih adakah yang berniat nikah sirih?


PASAL 28 D AYAT 3


Setiap warga negara berhak mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Pengembangan dan pembangunan bidang politik harus berdasar pada tuntutan hak dasar kemanusiaan yang di dalam istilah ilmu hukum dan kenegaraan disebut hak asasi manusia.


Salah satu hak asasi manusia adalah, berpolitik, termasuk didalamnya turut andil dalam pemerintahan negara. Di dalam sila-sila Pancasila tersusun atas urutan sistematis, bahwa dalam politik negara harus mendasarkan pada kerakyatan (sila IV), adapun pengembangan dan aktualisasi politik negara berdasarkan pada moralitas berturut-turut moral ketuhanan (sila I), moral kemanusiaan (sila II) dan moral persatuan (sila III) yaitu ikatan moralitas sebagai suatu bangsa. Adapun aktualisasi dan pengembangan politik negara demi tercapainya keadilan dalam hidup bersama (sila V)


Selain itu, nilai-nilai politik juga terkandung dalam alinea II di pembukaan UUD 1945 tentang cita-cita negara dan kemerdekaan yaitu demokrasi. Dan jika kita kembali melihat sila-sila Pancasila, maka akan terjawab bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dalam rangka pelaksanaan demokrasi kerakyatan.
Hal itu pula yang mendasari timbulnya hak setiap warga negara untuk ikut serta duduk bersama di jajaran pemerintahan, seperti yang tercantum dalam pasal 28 D ayat 3, “Setiap warga negara berhak mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” yang dibuktikan dengan salah satu contoh konkret, pemilihan legislatif di Indonesia.


Dalam pemilihan anggota dewan beberapa waktu yang lalu, semua kalangan masyarakat Indonesia mempunyai hak politis dan kesempatan yang sama, untuk memilih dan dipilih. Dari berbagai sumber menyatakan, bahwa pemilu legislatif periode 2009-2014 merupakan pemilu yang paling berwarna, karena kesadaran politik sudah timbul di masing-masing individu. Semua kalangan dari berbagai latar belakang berlomba-lomba untuk menjadi wakil rakyat, agar bisa menyumbangkan tenaga dan gagasan dalam rangka turut membenahi negeri. Dan hasilnya, banyak juga kalangan artis dan budayawan yang berhasil melenggang masuk ke jajaran dewan perwakilan rakyat.

Sampai kemudian timbul pertanyaan besar yang menjadi polemik atas hasil pemilu legislatif periode ini. Sanggupkah mereka (yang tidak mempunyai latar belakang politik dan kenegaraan) mengarungi segala tantangan yang ada dan melaksanakan amanat rakyat dengan jujur dan bersih?


Seiring dampak era globalisasi yang menuntut banyak materi dan ketahanan mental, terkadang para pemegang amanat tersebut tak mampu menahan keinginan untuk mensejahterakan dirinya sendiri dengan cara-cara yang tidak terhormat dan tentunya akan sangat mengecewakan rakyat serta merugikan negara.

Jangan sampai kesempatan rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan ternodai dengan hal-hal negatif seperti korupsi dan lain-lain. Bisa dibilang disinilah pentingnya aktualisasi Pancasila dan UUD 1945 sebagai alat pengendali masing-masing individu.


PASAL 28 E AYAT 3



Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.


Manusia adalah individu yang dilahirkan dengan naluri atau keinginan bersosialisasi yang tinggi. Mereka tidak bisa hidup sendiri tanpa bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang lain. Sejak dulu sampai sekarang, kesadaran ini tak pernah lepas dan terus melekat erat di masing-masing individu.
Hak asasi yang berkaitan dengan kebebasan dalam berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat tidak hanya terjalin dalam bentuk yang formal dan serius. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga bisa dengan mudah menemukannya.
Misalnya perkumpulan Karang Taruna disekitar tempat tinggal, arisan RT, organisasi PKK, serta merambah ke instansi pendidikan seperti OSIS, MPK dan perkumpulan lainnya.


Sebenarnya, apa yang menyebabkan seorang individu merasa nyaman dan senang berserikat dengan sesamanya? Berikut ini adalah jawaban yang logis untuk pertanyaan tersebut :


1. Adanya kesamaan sudut pandang dan pemikiran , menyebabkan terciptanya komunikasi yang selaras dan berkesinambungan


2. Adanya perasaan saling melengkapi, melindungi, dan mengisi satu sama lain sehingga merasa nyaman untuk bergerak bersama dalam mewujudkan tujuan bersama.


3.Adanya kesenangan atau hobi yang sama


4.Adanya kesamaan asal-usul atau bersifat kedaerahan


5.Perserikatan atau organisasi mayoritas berdampak baik dan disadari atau tidak akan meningkatkan tali silaturahmi serta menambah wawasan dan pertemanan.


Tetapi,sekarang ini banyak sekali perkumpulan-perkumpulan yang menjurus ke arah negatif dan memberontak. Misalnya seperti perkumpulan geng motor yang kerap meresahkan warga sekitar karena perilaku mereka yang buruk, perkumpulan segelintir masyarakat yang hendak melakukan teror, dan perkumpulan negatif lainnya. Hal ini tentunya menyimpang dan harus segera diluruskan.


Selain itu, hak asasi manusia yang lainnya adalah kebebasan mengeluarkan pendapat. Manusia, baik itu di dalam ataupun di luar perkumpulannya pasti mempunyai pemikiran-pemikiran yang berlawanan, keinginan untuk melakukan perubahan, serta keinginan untuk mengeluarkan keluh kesah dari sebuah permasalahan.
Tentunya kita masih ingat kasus Prita Mulyasari.Ibu dua anak yangterseret kasus pencemaran nama baik hanya karena “curhat” di dunia maya tentang ketidakpuasannya dengan pelayanan RS Omni Internasional. Kasus ini begitu menyita perhatian dan simpati publik, seiring dengan keganjilan-keganjilan yang terlihat dalam kasus ini.


Mengapa kita tidak bisa lagi dengan bebasnya mengeluarkan
pendapat?

Sebagai manusia tentunya kita sangat sadar bahwa mengeluarkan uneg-uneg itu wajar-wajar saja. Dari kasus tersebut, saya pribadi jadi sadar akan tanda tanya besar dalam makna ‘Kebebasan berpendapat’. Bukan berpendapatnya yang salah, tapi alangkah baiknya apabila kita dapat memilih media, waktu serta cara yang tepat dan bijak dalam mengeluarkan pendapat.


PASAL 28H AYAT 1


Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.


Orang miskin dilarang sakit. Jargon tersebut tampaknya tidaklah asing lagi bagi kita,mengingat saat ini kesehatan dan pelayanannya sepertinya memang hanya diperuntukan bagi mereka yang berkantong tebal saja.


Namun rasanya akan memakan lembaran-lembaran yang tak terhitung jumlahnya jika kita hanya membincangkan masalah,pelanggaran,dan penyimpangan yang sering terjadi berhubungan dengan pasal diatas. Rasa-rasanya jajaran pemerintah sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik, dan sudah sangat sepantasnya untuk dihargai.


Sehat memang harus diwujudkan dengan gerakan bersama-sama seluruh rakyat. Berkaitan dengan hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, pemerintah sudah menggalakkan progam-program seperti 3M, dalam rangka memberantas penyakit demam berdarah, serta masalah kesehatan lainnya. Selain itu juga pemerintah tengah berkoordinasi dengan berbagai wilayah untuk melakukan program kebersihan dari mulai tingkat RT.

Agaknya masalah lingkungan hidup yang baik dan Selanjutnya mengenai pelayanan kesehatan. Pemerintah terutama menteri kesehatan RI sudah membuat berbagai program dan gerakan yang berupaya untuk meningkatkan kualitas kesehatan rakyat. Seperti pengadaan posyandu di tiap-tiap daerah serta imunisasi rutin bagi para balita. Ada juga pengadaan kartu askes yang dapat meringankan biaya (atau bahkan konon katanya dapat membebaskan biaya) berobat bagi orang-orang tidak mampu. Sehingga diharapkan tidak ada lagi jargon-jaron ironis seperti ‘orang miskin dilarang sakit’. Selain itu ada juga program KB, penyuluhan narkoba, dan AIDS di lembaga pendidikan.


Pelayanan kesehatan di Indonesia sebenarnya sudah mulai mengembang dan sangat berkaitan dengan masalah penanggulangan bencana. Sejak musibah Tsunami di Aceh tahun 2004 silam, pelayanan kesehatan pasca bencana mulai digalakkan.
Tidak hanya itu saja, Indonesia juga dengan sigap mengirim tim medis untuk menjadi relawan bencana alam di negara-negara lain seperti di China dan Haiti. Pantas saja, PBB baru-baru ini menyatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang tanggap terhadap penanggulangan bencana.


PASAL 28 I AYAT 1


Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.


Terkadang manusia lupa atau bahkan tidak menyadari akan hak asasi yang melekat di diri mereka masing-masing, padahal keseluruhan ayat dalam Pasal 28 UUD 1945 dengan tegas menjabarkannya.
Sejak keberadaan manusia dimuka bimi ini, maka sejak itulah permasalahan dan kejahatan mulai menempatkan dirinya, searah dengan perkembangan kepintaran dan segala kesulitan serta tantangan manusia untuk bertahan hidup atau hanya sekedar untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan disekitarnya, maka kejahatan juga mulai merajalela tidak hanya itu saja adanya perkembangan teknologi dalam peradaban manusia juga memacu manusia melakukan kejahatan.

Pada saat kejahatan mulai semakin beragam dan terus berkembang didalam kehidupan masyarakat. Bukan saja pada masyarakat yang sudah maju, namun juga terdapat pada masyarakat yang sedang berkembang. Hal ini merupakan akibat dari perkembangan teknologi, perkembangan sosiokultural dan politik. Semakin beragamnya kejahatan tersebut, menuntut akan kemampuan hukum, baik perangkat perundang-undangan maupun perangkat hukum.

Para ahli psikiatri berpendapat bahwa jauh terpendam didalam jiwa setiap orang mempunyai dorongan-dorongan untuk melakukan kejahatan yang ia kendalikan dengan begitu baik, sehingga ia sendiri tidak menyadari adanya dorongan itu. Kejahatan merupakan gejala sosial dan penyakit masyarakat yang akan hidup dan meningkat sepanjang sejarah manusia, kejahatan itu bersumber dari masyarakat dan masyarakat sendiri yang akan menanggung akibatnya dari kejahatan itu walaupun tidak secara langsung. Kejahatan mengakibatkan ketertiban, ketentraman, dan keamanan masyarakat terganggu dan pergaulan hidup menjadi rusak serat hak milik tidak terjamin keamanannya dengan kondisi yang demikian maka perlu adanya usaha-usaha untuk mencegah dan memberantas kejahatan ini, bentuk dan cara yang digunakan cenderung berubah. Masalah kejahatan bukan hanya menyangkut masalah pelanggaran norma hukum saja, tetapi juga melanggar norma-norma yang lain, misalnya : norma agama, norma susila, dan lain-lain, norma hukum hanyalah satu dari sekian banyak norma yang hidup ditengah-tengah masyarakat.

Bayi-bayi yang diaborsi atau bahkan dibuang oleh orangtua yang tak bertanggung jawab punya hak untuk hidup. Pahlawan-pahlawan devisa negara kita yang tengah merantau ke pelosok negeri tetangga demi sesuap nasi mempunyai hak untuk tidak disiksa dan hak untuk tidak diperbudak.

Masyarakat kecil pun mempunyai hak yang sama dihadapan hukum serta hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, meskipun pada kenyataannya di Indonesia sendiri banyak sekali rakyat kecil yang dijebloskan ke penjara hanya karena mencuri sebuah semangka ataupun biji kakao. Kalau sejak awal tahu akan ketidakadilan hukum bagi rakyat kecil seperti mereka, lebih baik sekalian saja menjarah bank serta melakukan kesalahan yang lebih runyam sekalian.

Toh hukum tidak pernah berani menyentuh kasus-kasus kelas kakap seperti itu kan?


Pro dan kontra mengenai hukuman mati akhir-akhir ini kembali mencuat setelah sembilan hakim konstitusi berbeda pendapat ketika melakukan pengujian UU Narkotika terhadap UUD 1945 khususnya mengenai penerapan hukuman mati dalam UU Narkotika. Enam hakim, termasuk Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan pasal 28 A dan pasal 28 I UUD 1945. Sedangkan tiga hakim lainnya, yaitu Laica Marzuki, Achmad Roestandi dan Maruarar Siahaan, menyatakan ketidak-setujuannya atas eksistensi hukuman mati.

Perlu diketahui bahwa tujuan pemidanaan dalam sistem hukum kita ini adalah untuk memasyarakatkan terpidana sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah­kan martabat manusia. Hukuman mati bukan cara yang tepat untuk membebaskan rasa bersalah terhadap terpidana dan dengan eksekusi mati, tujuan untuk memasyarakatkan terpidana agar menjadi orang yang baik dan berguna serta dapat diterima kembali di masyarakat tidak dapat tercapai. Hukuman mati ini juga mendatangkan penderitaan yang sangat berat bagi terpidana, baik pada saat menunggu eksekusi maupun pada saat eksekusi itu sendiri. Pada saat menunggu eksekusi, terpidana mati mengalami tekanan mental atas hukuman yang akan dijalaninya dan pada saat dilaksanakannya eksekusi, yang bersangkutan mengalami penderitaan fisik. Sehingga muncul pendapat bahwa apabila seseorang dijatuhi hukuman mati maka yang bersangkutan menjalani double punishment.

Dalam ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur mengenai ketentuan pidana, yang antara lain adalah sebagai berikut:





Pasal 10 KUHP : Pidana terdiri atas:

a. Pidana pokok:

1. pidana mati;

2. pidana penjara;

 3. pidana kurungan;

4. pidana denda;

5. pidana tutupan.

b. Pidana tambahan

1. pencabutan hak-hak tertentu;

2. perampasan barang-barang tertentu;

3. pengumuman putusan hakim.

Tujuan pemidanaan menurut konsep Rancangan KUHP 1991/1992 dinyatakan dalam pasal 51, adalah sebagai berikut :

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Keseluruhan teori pemidanaan baik yang bersifat prevensi umum dan prevensi khusus, pandangan perlindungan masyarakat, teori kemanfaatan, teori keseimbangan yang bersumber pada pandangan adat bangsa Indonesia maupun teori resosialisasi sudah tercakup didalamnya.

Menurut Muladi dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus tercakup dua hal, yaitu pertama harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku dan yang kedua harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat.

Sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat yang paling mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun terhadap kejahatan-kejahatan lain. Dalam pada itu bukan saja pada masa lampau, sekarang pun masih ada yang melihat pidana mati sebagai obat yang paling mujarab untuk kejahatan.
Indonesia yang sedang mengadakan pembaharuan di bidang hukum pidananya, juga tidak terlepas dari persoalan pidana mati ini. Pihak pendukung dan penentang pidana mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar, mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, buatan bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan.

Sesuai dengan Pancasila yang memiliki kedudukan sebagai dasar filsafat kenegaraan dan merupakan guiding principle dalam menjalankan kegiatan bernegara di Indonesia, khususnya sila pertama dan kedua, dalam UUD 1945 pasal 28 A disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Selanjutnya pasal 28 I ayat 1 menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Maka, patut kita pertanyakan metode penafsiran apa yang digunakan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie dan lima hakim konstitusi lainnya yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD 1945?

Selain pasal 28 UUD 1945, hak untuk hidup juga diatur dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal 4 UU HAM dinyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Dengan dipertahankannya hukuman mati dalam sistem hukum di Indonesia berarti negara telah mengabaikan kewajibannya untuk menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya.

Pencantuman hukuman mati dalam beberapa Undang-undang yang berlaku di Indonesia merupakan bentuk inkonsistensi negara terhadap ideologi dan konstitusi negaranya sendiri. Dalam Pancasila dan UUD 1945 ditegaskan bahwa hak hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa negara menjamin hak hidup dari setiap warga negaranya.

 Tetapi dalam perundang-undangan Indonesia masih banyak Undang-undang yang mencantumkan hukuman mati sebagai salah satu ancaman hukumannya.
Hukuman mati belum tentu akan membuat angka kejahatan akan berkurang atau membuat seseorang merasa takut untuk melakukan kejahatan sejenis dengan terpidana mati. Seperti kita ketahui pada kasus Poso, eksekusi mati terhadap Tibo Cs tidak membuat warga Poso takut untuk terlibat konflik antar kelompok seperti yang dilakukan Tibo Cs, tetapi justru memicu konflik antara kelompok pendukung dan kelompok penentang eksekusi mati terhadap Tibo Cs. Dari kasus ini terlihat bahwa tidak ada korelasi antara hukuman mati dengan upaya pencegahan tindak kejahatan. Maka, dapat dikatakan hukuman mati sama dengan gambling with human life.

Penasehat hukum terpidana mati kasus bom Bali I yang tergabung dalam Tim Pembela Muslim mengajukan gugatan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 02/Pnps/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara 1964 No 38) yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yakni sebanyak 3 (tiga) Pasal, yang antara lain Pasal 1, Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 14 ayat (4) dalam Undang-undang tersebut. Menurut Tim Pembela Muslim, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan 28 I ayat (1) UUD 1945.

Demikian juga hak kemerdekaan pikiran dan nurani. Masih ingatkah kalian akan peristiwa bredel media massa pada zaman orde lama? Kala itu media massa sebagai teropong dan penyebar informasi banyak yang dibungkam keberadaannya. Dan laksana bom waktu, hak kemerdekaan menyalurkan pikiran dan nurani pun sudah dikantongi pers sekarang. (Yah, sekalipun mereka sesekali kerap terseret dalam masalah karena berita-berita yang mereka suarakan.)


Hak asasi manusia memang kasat mata keberadaannya. Mereka bergelung diam-diam di tubuh-tubuh kita. Namun dapat menggeliat marah jika keberadaannya terinjak. Indonesia saat ini sedang mengalami krisis apresiasi terhadap hak asasi manusia. Daftar panjang kasus pelanggaran HAM yang masuk ke KOMNAS HAM sendiri sudah tak terhitung banyaknya.Sebuah pekerjaan rumah yang sangat sulit dan tak dapat diselesaikan hanya dengan teori belaka.

Banyak kasus-kasus HAM pelik yang sulit dipecahkan, seperti kasus pembunuhan aktivis HAM alm.Munir, misalnya. Dan pada dasarnya, hak asasi yang sejak lahir sudah mengiringi kita hingga akhir hayat nanti, sudah sepantasnya diperjuangkan dan tidak lagi diperjual-belikan layaknya mekanisme perdagangan di pasar.
Ingat, Hak asasi manusia adalah pemberian dari Sang Maha Pencipta.